Anda
sudah menjadi orang tua?. Jika sudah menjadi orang tua maka perilaku
Anda perlu di jaga, jangan sampai membuat anak-anak Anda menjadi stress.
Siapa bilang hanya orang dewasa saja yang bisa terserang stres?
Anak-anak pun bisa. Biasanya orang dewasa terserang stres karena
masalah pekerjaan, keuangan dan lainnya. Bagaimana dengan anak, apa
pemicu stres mereka?
"Faktor penyebab anak menjadi
stres adalah perilaku dari orangtuanya sendiri," tukas Rustika Thamrin,
Spsi, CHt, CI, MTLT, psikolog dari Brawijaya Women and Children
Hospital kepada Kompas Female, saat talkshow "How to be a Healhty &
Productive Career Women" di Thamrin Nine, Jakarta Pusat.
Menurut Rustika ada beberapa
perilaku orangtua yang tidak disadari bisa menimbulkan tekanan pada
anak, yang pada akhirnya mengakibatkan stres. Berikut beberapa
penyebabnya:
1. Melarang anak menangis
Semua
orangtua pasti ingin anaknya menjadi anak yang hebat. Namun seringkali
orangtua tidak menyadari bahwa kata-kata motivasi yang diberikan
justru membebani anak, dan mungkin saja membuat mereka menjadi stres.
"Beban dan tekanan ini terutama dialami oleh anak laki-laki dibanding
perempuan, karena di kultur Indonesia laki-laki itu dianggap mahluk yang
paling kuat sehingga tidak boleh menunjukkan kelemahannya sedikit
pun," ungkapnya.
Pola pikir anak-anak dan dewasa
berbeda. Anak, terutama pada balita, hanya akan menyerap kata-kata yang
terdengar, dan belum bisa memprosesnya dengan sempurna seperti yang
dilakukan orang dewasa. Misalnya, ketika anak terjatuh dari sepeda dan
kemudian menangis. Jika yang terjatuh adalah anak perempuan, orangtua
biasanya akan membiarkannya untuk menangis. Tetapi ketika yang mengalami
adalah anak laki-laki, orangtua pasti akan melarangnya menangis
diiringi pesan, "Kamu tidak boleh menangis", "Kamu kan laki-laki, tidak
boleh cengeng", atau "Kamu kan anak laki-laki yang kuat, luka ini tidak
ada apa-apanya."
Sekilas, tak ada yang salah
dengan kalimat tersebut, karena tujuannya memotivasi anak untuk tidak
cengeng. Namun, ketika diserap oleh otak anak, kalimat ini akan memiliki
arti yang berbeda. Kalimat tersebut akan diterima sebagai sebuah
perintah, yang akan selalu ada di otak mereka sampai dewasa. Masuknya
perkataan ini ke otak anak akan membuat anak selalu menahan tangisnya,
dan memendam perasaan sedihnya. Hal inilah yang membuat anak menjadi
stres. "Tidak heran kalau laki-laki jarang dan malu menangis, karena
dari kecil sudah dijejali dengan perkataan seperti itu. Padahal orang
sah-sah saja untuk menangis dan mengeluarkan perasaan mereka," tambah
Rustika. Menangis boleh saja, yang harus dikontrol adalah frekuensinya.
2. Perilaku orangtua tidak konsisten
Menurut
penelitian, anak-anak usia 1-7 tahun akan lebih mudah menyerap
berbagai hal di sekitarnya melalui bahasa tubuh seseorang (90 persen),
intonasi suara (7 persen), dan kata-kata (3 persen). "Orangtua yang
plin-plan akan membuat anak kebingungan, dan akhirnya stres karena
orangtuanya tidak konsisten," tambahnya. Seharusnya orangtua bersikap
tegas dalam mendidik anak, dan antara suami dan istri bekerjasama agar
tercapai kata sepakat. Misalnya, anak dihukum ketika melakukan sebuah
kesalahan. Namun ketika ia mengulangi kesalahannya, orangtua tidak
menghukumnya. Bahasa tubuh orangtua yang tidak konsisten ketika
menghadapi masalah yang sama, seperti kadang bersikap galak dan kadang
baik, akan membuat anak tertekan.
3. Membeda-bedakan anak
Banyak
orangtua yang secara tak sadar membeda-bedakan anaknya. Meski dalam
perbuatan tidak terlalu terlihat, namun intonasi suara yang turun naik
ketika menghadapi kakak dan adik akan membuat anak merasakan adanya
pembedaan sikap orangtua. "Ketika adik kakak berkelahi, biasanya nada
bicara orangtua akan lebih lembut ke adik dibanding kakak, karena
mengganggap bahwa kakak yang sudah lebih dewasa harus mengalah,"
bebernya. Intonasi suara yang berbeda ketika menghadapi kakak dengan
nada yang keras, dan adik dengan nada yang lembut, akan membuat si kakak
merasa si adik lebih disayang dan ia pun menjadi tertekan.
4. Labeling pada anak
Salah
satu yang paling berbahaya yang dilakukan orangtua kepada anak adalah
memberi label atau cap kepada anak. Kata-kata seperti, "Dasar kamu anak
pemalas", atau "Kamu kegemukan, makanya pakai baju apa saja tidak ada
yang cocok", atau "Kamu kok lemot sih, nggak pinter seperti kakakmu?".
Hati-hati, labeling, apalagi yang diiringi dengan tindakan
membanding-bandingkan anak, tak hanya membuat anak merasa tertekan,
tetapi juga mengalami luka batin yang akan terbawa hingga ia dewasa.
5. Terlalu sering melarang
Ketika
anak berusia 4-6 tahun, anak sedang berada dalam zona kreatif dengan
peningkatan rasa ingin tahu dan ingin belajar yang sangat tinggi. Namun,
sikap kreatif anak dan daya ekplorasinya dianggap sebagai kenakalan
orangtua, lalu berusaha membatasi gerak mereka. "Jangan main di sana",
atau "Jangan dipegang-pegang!", dan masih banyak kata larangan lain yang
digunakan orangtua untuk membatasi kreativitas anak. Meski memiliki
tujuan yang baik agar si anak tidak terluka, namun kata-kata "jangan"
dan "tidak" ternyata bisa membuat anak menjadi stres karena mereka tidak
bebas untuk melakukan apapun.
Gunakan kata-kata lain yang
lebih baik untuk mengarahkan anak, sehingga anak akan menerimanya dengan
positif. Anak akan mengerti bahwa Anda melarangnya melakukan hal
tersebut karena berbahaya, dan bukan karena tidak sayang pada anak.
"Kalau selalu dilarang, suatu saat anak bisa mencuri-curi untuk
melakukannya saat Anda tidak tahu," ujar Rustika.