Sebuah pengalaman mengubah cara pandang saya terhadap para pengemis yang meminta-minta di lampu merah.
Para
pengemis dan pengamen yang menghampiri kendaraan yang tengah berhenti
di lampu merah adalah pemandangan sehari-hari yang bisa dijumpai di
kota-kota besar, termasuk Jakarta.
Tak hanya penyandang cacat,
sekarang banyak anak kecil, ibu-ibu, bahkan anak remaja yang menjadi
peminta-minta. Sering saya merasa tersentuh dan akhirnya memberikan
sedikit uang yang saya miliki.
(Apalagi saya banyak mendengar
ajaran agama yang mengatakan bahwa kita harus memberikan kepada
orang-orang yang membutuhkan bantuan.)
Tetapi beberapa hari yang
lalu, sepulang saya beribadah, saya berada di sebuah lampu merah di
daerah Sawah Besar, Jakarta Barat. Saya melihat seorang anak lelaki
berumur sekitar 9-10 tahun sedang meminta-minta.
Pengemudi mobil
di depan saya memberikan uang dalam jumlah yang cukup besar. Uang
kertas yang berwarna merah. Dengan lima angka 0.
Seketika setelah
mendapat uang, anak itu mendekati remaja lain yang lebih tua. Ia
menyerahkan uang kertas merah itu kepada remaja yang memakai celana jins
dan kaos oblong dan nampak seperti preman itu.
Tak berapa lama,
remaja itu mengeluarkan sekaleng lem Aica Aibon, mengoleskannya pada
selembar handuk, dan menyerahkannya kepada si anak lelaki. Lalu anak
tersebut duduk di dekat pot, sambil menghirup handuk tersebut sampai
teler.
Anak jalanan ngelem.
Saya
cukup terkejut dan berpikir. Tidak akan pernah lagi saya memberi
sedekah kepada anak-anak kecil tersebut. Saya tidak mau lagi sedekah
saya disalahgunakan.